Malam itu, di sudut paling tidak masuk akal untuk diam sendirian. Dia terpekur menatap kosong langit tak bertepian. Monolog malam itu dimulai, ditemani keheningan malam yang sungguh tak nyaman.
...
"Apakah aku memang sedang di buang oleh keadaan yang aku ciptakan sendiri?"
...
"Mungkin karena aku terlalu angkuh terhadap keadaan yang bahkan belum tentu bisa aku taklukkan."
...
"Tapi bukankah aku sudah berusaha dan terus berusaha?"
...
"Sungguh aku terlalu banyak berangan dan lupa memijak tempat yang aman."
...
"Kemana aku akan pergi setelah semua kekacauan yang aku buat ini?"
...
"Kembali pulang, tapi apakah pulang akan menyembuhkan luka dan malu yang aku miliki?"
...
Itulah kalimat demi kalimat yang sedang dia gumakan pada dirinya sendiri. Runtutan pertanyaan dan pernyataan sepihak. Membuat siapa saja yang tak paham bisa kacau balau argumentasinya dalam semalam. Dia memang diam, tapi sungguh, di dalam dirinya sangat kacau. Satu pertanyaan muncul, beberapa pernyataan mencerca pertanyaan itu. Kemudian hadir lagi pertanyaan baru, diikuti rutukan baru, diikuti penyesalan baru. Ah, sungguh pilu mendengar semua keramaian itu. Dikatakan pilu karena keramaian itu terbungkus rapi dalam keheningan serta tetes air mata sunyi.
...
Kegelisahan dan keraguan yang dibungkus keheningan sungguh mematikan. Ditambah ketakutan akan banyak hal akan membuat dia semakin kalut dan berantakan. Maka dia harus segera disadarkan oleh nurani yang berkata lirih namun jernih. Perlahan dia mengusap air mata dan mulai mendengarkan nuraninya bicara.
...
"Allah tak mungkin membebankan sesuatu yang tidak bisa ditanggung hamba-Nya."
...
"Keputusan Allah pasti yang paling baik, tolong jangan kamu ragukan keputusan-Nya."
...
"Berusaha lagi, iringi dengan do'a yang semakin keras di sepertiga malam dan di waktu-waktu yang mustajab."
...
"Ayolah, hidup kita bukan hanya di dunia, masih ada alam selanjutnya yang akan kamu hadapi."
...
"Allah selalu memberikan ujian dan itu tanda cinta-Nya kepada hamba-Nya."
...
"Pulanglah, ridho Allah ada beserta ridho dari kedua orang tua."
...
Hening kembali menyelimuti jiwanya yang sedang kelam. Air matanya menetes hingga membasahi bajunya. Apa boleh dikata, sekuat-kuatnya dia berusaha untuk sadar, pasti masih ada beberapa kekecewaan yang membutuhkan pelampiasan. Tapi sungguh dia mencoba menarik sesimpul senyuman. Senyuman terima kasih pada Allah karena masih memberikan kekuatan pada nuraninya untuk berbicara.
...
"Baiklah, mari menangis untuk malam ini, mari habiskan segala penyesalan itu."
...
"Aku sadar semua penyesalan ini percuma, tapi paling tidak aku sadar Allah selalu sayang sama aku."
...
"Lain kali mari berusaha dengan dosis yang tepat, usaha dan do'a berjalan beriringan."
...
"Semoga esok Allah kembali memberi kesempatan yang baik bagi ku untuk berjuang dengan lebih keras."
...
"Mari berdamai dengan penyesalan dan kegagalan masa lalu."
...
"Terima kasih ya sudah berjuang sejauh ini, selepas ini mari berjuang lagi."
...
Akhirnya dia memeluk dirinya sendiri, dia membungkus dirinya dengan kehatangan tangan yang memeluk pundaknya sendiri. Dia terima sekaligus menangisi kegagalan dengan lapang dan berusaha tersenyum atas segala kenyataan. Dia mulai melangitkan do'a demi do'a yang dia yakini pasti didengarkan oleh Tuhan. Dia kembali mensyukuri segala apa yang dia punya dan berusaha mempertahankan senyuman sambil terus mengusap air mata.
No comments:
Post a Comment