Bersyukur kepada Allah atas rezeki
yang kita miliki dan kita harus memahami betul bahwa rezeki itu dari Allah.
Mengutip nasihat dari Abi Quraish Shihab mengenai syukur, yaitu :
"Bersyukur itu menerima yang sedikit dan menganggapnya banyak. Serta mengeluarkan yang banyak dan menganggapnya sedikit." (Abi Qu)*
Dalam pandangan saya pribadi, rezeki
yang saya terima saat umrah dan sampai saat ini adalah banyak berupa waktu
luang dan waktu sehat. Rezeki materi yang saya miliki belum berupa berlian atau
uang yang sangat amat banyak di mata manusia. Namun rezeki dalam hal waktu
luang yang Allah berikan kepada saya adalah suatu kenikmatan yang pada akhirnya
membuat saya bisa belajar lebih banyak. Begitu pula rezeki berupa waktu sehat
dari Allah yang menjadi sebab kemampuan untuk beribadah secara fisik dengan
lebih lancar.
(a) Bersyukur atas keadaan
Dalam perjalanan menuju Jeddah,
ketika pesawat yang kami tumpangi tawaf terlebih dahulu di langit Medan,
pembimbing kami Kyai Syafaat mengimpulkan seperti ini :
"Alhamdulillah, kita
mendapatkan tambahan waktu di dalam kendaraan tanpa perlu menambah
biaya/uang." (Kyai Syafaat)
Begitu pula kurang lebih yang beliau
sampaikan saat bis yang kami tumpangi terkena macet. Serta ketika bis yang
membawa kami mengunjungi padang Afarah berputar-putar lama di jalan raya.
Peristiwa dalam kendaraan tadi
memberikan saya pembelajaran bahwa mensyukuri apa yang terjadi dalam hal ini
melihat sisi baiknya akan membuat kita lebih bisa menerima keadaan.
(b) Beryukur atas harta
Selanjutnya, mari kita singgung
mengenai harta. Untuk berbuat baik tentu saja kita harus memiliki harta benda.
Karena harta benda ini bisa membuat kita lebih mudah berbuat kebaikan. Tapi
mari kita ingat bersama, hanya harta benda yang membuat kita bersyukur dengan
cara bersedekah yang akan menyelamatkan kita. Sedangkan harta yang terlalu kita
cintai dan enggan kita sedekahkan atau enggan kita zakatkan akan menjadi sebab
pintu neraka dibukakan untuk kita.
Perihal harta, saya melihat bahwa
selama di Madinah dan Mekkah infrastrukutur kota yang megah berjalan beriringan
dengan masyarakatnya yang tentram. Banyak sekali para penziarah yang datang
dengan ciri khas mereka yang hidup makmur dan berkecukupan. Akan tetapi juga
ada mereka-mereka yang masih berada dalam garis kemisknan yang terus berusaha
mencari rezeki diantara ramainya para penziarah dari penjuru dunia.
Lalu dari peristiwa tersebut ada
rasa syukur yang harusnya bisa kita terbitkan bersama-sama.
Melihat hal itu saya merasa bahwa
Allah sangat amat Maha Adil. Dimana keadilan dalam hal ini adalah ketika tetap
ada yang miskin diantara yang kaya. Karena ada yang miskin maka saya bisa
memiliki alasan untuk bersedekah. Di Masjid Nabawi dan di Masjidil Haram tidak
ada yang namanya kotak amal. Kita jamaah biasa ini tidak bisa serta merta
menginfakkan harta kita untuk kemakmuran masjid. Tapi kita bisa membagi atau
bersedekah kepada mereka para petugas kebersihan yang sedang bekerja dan mereka
juga membutuhkan uang itu.
Diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
yang artinya: “Siapakah diantara kalian yang harta ahli warisnya lebih ia
cintai daripada hartanya sendiri? Mereka (para shahabat) menjawab: Tidak ada
diantara kami kecuali hartanya lebih ia cintai. Beliau Shallallahu 'Alaihi
Wasallam bersabda: Sungguh hartanya adalah apa yang telah ia infakkan dan harta
ahli warisnya adalah yang ia tinggalkan (tidak diinfakkan)” (HR. Al-Bukhari).**
Maka menurut kesimpulan saya pribadi
:
Harta yang paling bermanfaat adalah
yang menjadi sebab kita bersyukur.
Kita harus bersyukur terlebih ketika
kita bisa membeli akhirat dengan dunia.
Malang, 22 Ramadhan 1445 H
No comments:
Post a Comment