Keberanian dalam melangkah membuat kita
menjadi selangkah lebih maju dari pada orang lain. Nah setelah berani lalu
meng-eksekusi apa yang menjadi mimpi kita, mudahkan? Nyataya tidak semudah itu
menjalani hari demi hari yang ada. Galau, lelah dan badmood terlalu sering
mewarnai diri kita dan pada akhirnya kita mengendap dalam kemalasan. Semacam kegundahan
yang selalu datang lalu pergi ketika keberanian muncul lagi, sekarang mari kita
cari tahu bagaimana mengimbangi keberanian dengan rasa galau yang bisa
menyergap sewaktu-waktu.
Pertama kita bicara mengenai bahagia, satu
kata yang banyak penafsirannya dan memiliki makna bergantung kepada siapa kita
bertanya tentang apa itu bahagia. Bagi orang yang ingin dunia, bahagia dia
adalah ketika ditangannya telah tergenggam harta yang sangatlah banyak dan
selalu ingin menambah harta itu lagi dan lagi. Bagi orang yang beragama,
bahagia adalah ketika kebijaksanaan stabil, dekat dengan Tuhan dan bisa
beribadah dengan nyaman. Tapi, bagaimanapun juga bahagia sejati sulit didapat
oleh kita yang belum mampu memaknai hakekat hidup ini. Penulis ingin mengutip
kata-kata Buya Hamka yaitu.[1] :
“Maka adalah kebahagiaan yang kita cari itu
terlalu tinggi. Kita semuanya hanya mengumpulkan pendapat orang lain, karena
demikianlah kita ini di dalam hidup. Kadang-kadang pendapat mereka itu belum
pernah dirasakannya, hanya diangan-angannya saja. Begitulah agaknya. Kadang-kadang
telah dirasakannya, tetapi tak sanggup dia melukiskan dengan puas, karena tidak
mudah lagi manusia itu menerangkan segala kelezatan yang dirasakannya.”
Dari pesan tadi penulis mengartikan bahwa
tidak mudah menjadi seseorang yang bahagia, mana kala banyak standarisasi yang
kita tetapkan secara tidak sadar. Justru ketika kita mencoba melepaskan segala
belenggu standarisasi kebahagiaan itulah nantinya kita akan merasa bahagia. Jangan
menghindari kekurangan baru merasa bahagia, tapi nikmatilah dan mulailah
renungkan kekurangan yang kita miliki untuk membuat kita bahagia. Contohnya kita
badmood karena kemalasan kita, kemalasan yang berujung menumpuknya tugas dan
mengganjalnya urusan yang seharusnya bisa diselesaikan beberapa waktu yang
lalu. Maka mari mencoba menepi dari rasa sesal dan mulai merenungkan bahwa
kemalasan harus kita lawan perlahan, susun rencana dan satu hal awal yang
menanggulangi kemalasan. Dengan cara itulah sebenarnya kita menyelesaikan satu
masalah kekurangan kita dan layaknya kita bahagia karena mampu mengenali diri
kita sendiri.
Pendapat orang lain tentang kebahagiaan
perlulah kita dengar atau kita baca untuk pengetahuan dan tambahan wawasan
kita. Agar pengalaman mereka untuk bahagia dan mengatasi masalah bisa menjadi
referensi dan pengingat untuk kita. Karena seperti Ayu Utami dalam novelnya
yang menyebutkan bahwa berbahagialah mereka yang percaya tanpa harus melihat.[2]. Belajar dari kesalah orang lain, dari kisah
sedih orang lain menjadikan diri kita terpacu untuk lebih berhati-hati dan
menjadikan diri ini lebih mawas diri. Ketakutan yang timbul dari kisah orang
lain juga perlu dicermati dari mana ketakutan itu muncul, apa pemicunya dan
cobalah memahami keadaan disekitar mu apakah ketakutan itu layak menghalangi
langkah mu atau tidak.
Kadang-kadang kita merasakan hal yang indah,
kadang pula sulit untuk kita memaknai keindahan apa yang ada dalam diri ini.
Istiqomah sebenarnya menjadi kunci penting untuk keberanian dan kebahagiaan
kita di dunia ini. Istiqomah melakukan hal baik dan istiqomah dalam memulai
melanggengkan kebiasaan yang terpuji. Melakukan dengan segera, tidak
menunda-nunda pekerjaan dan menyelesaikan apa yang kita mulai agar target dapat
dipenuhi dengan maksimal. Untuk mencapai itu semua, butuh ketekunan, butuh
disiplin dan yang paling penting adalah istiqomah. Seperti kata Mario Teguh
berikut ini.[3] :
“Marilah kita lebih sibuk untuk bertindak,
daripada sibuk memikirkan kegagalan. Janganlah hidup untuk menunda, hiduplah
untuk bertindak.”
Marilah istiqomah, yaitu melakukan hal-hal
dengan terus menerus dan perlahan tapi pasti. Melakukannya setiap hari,
memiliki ritme yang stabil dan ingin terus menerus melanggengkannya hingga
ketika kita tidak melakukan ada rasa bersalah yang menuntut kita menggantinya
di lain waktu. Bukan kah begitu makna dari kata yang disebut-sebut dari tadi
yaitu “Istiqomah”?
“Bagi yang terlanjur mengatakan SULIT,
ingatlah bahwa ajal ada saatnya. Kesulitan bukan berarti kita sikapi dengan
putus asa. Pastikan kita bisa mengenal diri dengan lebih baik, mengenal
kemampuan lebih maksimal. Jangan melakukan sesuatu tanpa ilmu, tanpa tahu
kebenaran, karena bisa jadi bumerang. Tidak usah memaksakan diri agar
kelihatan lebih dari kenyataan yang
sebenarnya. Di dunia ini tidak ada kata SULIT yang ada hanya kata MALAS.”
Marilah sejenak kita perhatikan bahwa nyatanya
mengubah diri menjadi seseorang yang lebih baik itu berbahaya jika kita lakukan
secara instan. Mencoba mengubah diri secara mendadak untuk kepentingan sesaat
justru mencederai diri kita sendiri, melukai jati diri kita. Maka dari itu
untuk berubah menjadi lebih baik kita harus melalui proses yang bernama istiqomah.
Dengan istiqomah, diri kita belajar menyesuaikan dan belajar memantaskan
menjadi baik di setiap langkah. Meski tertatih itu tidaklah salah, karena nanti
akan ada saatnya diri kita menjadi lebih baik dan akan terselip bahagia karena
telah berani melalui proses yang panjang. Berawal dari kata KEBERANIAN yang
nantinya membuat kita ISTIQOMAH dan menjadi seseorang yang BERMANFAAT.
Jaga selalu diri kita, kesehatan jiwa kita,
kesehatan rohani kita dan kesehatan raga kita. Bersihkanlah diri kita dari
penyakit hati dan penyakit membenci diri sendiri. Menjaga, membersihkan dan
mengobati apa yang telah terluka. Secara istiqomah mencoba hal baru yang lebih
bermanfaat sekaligus perlahan meninggalkan apa yang membuat kita malas dan
terluka. Mari kita baca pesan dari Hasan Basri yang dikutip oleh Buya Hamka,
yaitu[5] :
“Pimpinlah dan kendalikanlah jiwa dengan
baik, karena amat liarnya, dan beri ingatlah, karena dia lekas lupa.”
[3] Qori, Imam.2015.Dibalik Rahasia
Menghafal Al-Qur’an.Jombang:Mafaza Media
[4] Qori, Imam.2015.Dibalik Rahasia
Menghafal Al-Qur’an.Jombang:Mafaza Media
No comments:
Post a Comment